Where do We Go adalah sebuah film yang merupakan perjalanan pencarian dari Hernandes Saranela dalam mencari siapa dirinya terkait dengan pengalamannya sebagai seorang yang berkecimpung dalam komunitas blackmetal. Pada film yang merupakan bagian pertama dari trilogi ini Hernandes Saranela, yang lebih dikenal dengan Andes, bercerita mengenai perjalanan black metal di Indonesia dan sejarah singkat mengenai perkembangan black metal di dunia secara umum.
Black metal sendiri adalah aliran musik yang meresistensi kekristenan, yang mendominasi dan memusnahkan kepercayaan pagan di daerah Norwegia. Gerakan aliran ini sempat memunculkan peristiwa pembakara gereja atau penentangan pada kekristenan. Dari sinilah muncul pandangan bahwa black metal adalah musik yang satanis, karena membawa syair-syair yang bercerita tentang kehancuran dan apokaliptik.
Di Indonesia sendiri, black metal berkembang pada pertengahan tahun 90an dan berkembang menjadi berbagai aliran. Dalam film yang melibatkan 25 grup band black metal ini, diceritakan juga tentang perkembangan aliran-aliran di dalamnya, seperti ada black metal yang tidak lagi mengangkat lirik-lirik mengenai kehancuran melainkan juga membawa nilai-nilai kebaikan atau berdakwah. Di sisi lain ideologi dari Eropa yang menentang agama tidak bisa diterapkan di Indonesia. Menarik ketika Andes menceritakan bagaimana mereka menggunakan lambang-lambang yang dipakai dalam black metal seperti salib terbalik dan tetap melakukan sholat Maghrib, sedangkan menentang agama mayoritas di Indonesia, juga tidak menjadi pilihan yang berani mereka lakukan. Warna dalam black metal ini juga diisi oleh kebudayaan lokal di mana band-band ini tumbuh dan berkembang, seperti di daerah Manado yang mayoritas Kristen, gerakan black metal yang bersifat antikristen ini lebih bisa dirasakan resistensinya dibandingkan dengan di Jawa yang mayoritas Muslim.
Dalam diskusi yang kemudian dilakukan setelah nonton film, terungkap banyak tarikan-tarikan yang ada di dalam tubuh black metal. Di satu sisi ada orang-orang yang memang ingin mencari tahu sejarah dari black metal itu sendiri dan menerapkannya secara ideologis di Indonesia, di sisi lain, ada kelompok-kelompok yang tergabung dalam black metal karena senang musiknya, atau penampilannya yang dianggap keren dan sangar. Kebebasan dan gaya dalam black metal, mampu membuat penampilan musik tersebut kental dengan atribut paku dan peluru, sampai dihardirkan pula sosok pocong, lengkap dengan pembakaran dupa dan tabur bunga.
Penampilan dan imaji yang dibangun para pemain black metal ini ternyata juga menjadi hal yang menarik. Banyak pelaku black metal yang tidak ingin dilihat (direkam) proses latihan ataupun kehidupan sehari-harinya. Selain karena faktor penampilan yang berbeda jauh dari penampilan sehari-harinya, Andes juga menyatakan ada perbedaan yang besar antara kualitas penampilan saat latihan di studio dan saat di panggung. Ada beberpa hal yang muncul ketika sesi tanya jawab dilakukan. Misalnya saja, mengenai tidak adanya kisah kehidupan keseharian para pemain black metal maupun saat latihan. Ada pula yang mempertanyakan menegnai kesan yang maskulin dalam film, karena anggota-anggota band yang didominasi lelaki. Namun pada kenyataannya, ada banyak pemain band yang berjenis kelamin perempuan, bahkan menggunakan hijab dan cadar, sesuatu yang tidak ingin Andes angkat dalam filmnya.
Bagi Andes sendiri, black metal merupakan jalan tempat dia mencari jawaban atas pertanyaan dan penentangan yang dirasakannya akan latar belakang keluarganya. Pertanyaan akan apa itu dosa, akan siapa dirinya, akan kejawaan apa yang dia miliki. Suatu perjalanan yang bisa dibilang personal. Film ini tidak bermaksud untuk mengklaim kebenaran mengenai black metal di Indonesia, Andes menyatakan bahwa film ini adalah perjalanan pribadinya dan berharap bahwa ada lebih banyak orang lain lagi yang menyatakan pendapatnya akan black metal. Sesuatu yang diharapkan bisa muncul dan mengembangkan wacana black metal itu sendiri.
Penulis: Anne Shaka
Jumat 27 Januari 2017
Ruang Palma, 15.00-19.00
Film oleh: Hernandes Saranela (produser, sutradara, kameramen)
Moderator: Emmanuel Kurniawan