PUSdEP- Selasa 23 Juli, 2024, SKPKC (Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan) Fransiskan Papua bersama PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) yang bernaung di bawah Program Magister Kajian Budaya, Sanata Dharma, Yogyakarta, menyelenggarakan acara diskusi buku seri memoria passionis no 42. Diskusi buku tersebut dilaksakan di Ruang Palma Magister Kajian Budaya. Buku yang bertajuk “Papua antara Berkat dan Kutuk” merupakan analisis dan kronik dari dokumentasi perjalanan hak asasi manusia di tanah Papua sepanjang tahun 2023. Buku ini hendak memberikan wawasan terhadap berbagai pihak dalam mewujudkan Papua yang lebih adil, damai, dan merdeka dari berbagai macam praktik penindasan. Diskusi ini mengundang empat orang pembicara, diantaranya P. Alexandro Rangga OFM selaku direktur SKPKC, Aprila Wayar seorang novelis dan jurnalis, Paul Gipaiyaby Tekege dari Aliansi Mahasiswa Papua, dan Ferdinando Septy Yokit selaku mahasiswa S2 Kajian Budaya. Diskusi ini berlangsung selama dua jam, dan membahas beberapa isu diantaranya:
- Masa depan hutan dan masyarakat yang terancam,
- Tata kelola daerah yang memicu ketegangan masyarakat dan diskriminasi aktivis,
- Kurangnya kebebasan berekspresi dan proses hukum yang terjadi di Papua,
- Berbagai masalah kesehatan mulai dari HIV, miras, stunting, dan ganja,
- Bagaimana pendidikan diselenggarakan di area-area konflik
- Masalah korupsi, dialog damai, dan rendahnya penyelengaraan pemerintahan,
- Serta kekerasan, konflik bersenjata, dan praktek militerisme.
P. Alexandro Rangga OFM, menjelaskan, buku tersebut merupakan buah refleksi dari perspektif antropologis para penulis yang merupakan anak asli Papua. Penggunaan judul “Berkat” dan “Kutuk” diambil dari bagaimana cara orang Papua memandang hutan sebagai sumber “berkat”. Namun sejak hadirnya aktivitas penambangan dan eksploitasi lainnya, tanah tersebut justru menjadi semacam “kutuk” bagi masyarakat Papua. Paul Gipaiyaby Tekege kemudian menambahkan bahwa problem utama pada Papua adalah upaya politisasi dalam berbagai aspek. Ia mengomentari terkait bagaimana kebijakan seperti pemekaran provinsi, dan otonomi khusus sarat akan kepentingan strategis nasional, dilakukan secara tergesa-gesa, dan kurang memperhatikan masyarakat Papua. Sementara itu Aprila Wayar berkomentar tentang bagaimana media mengalami sensor dan framing dalam membahasakan tentang apa yang terjadi di Papua. Disisi lain Ferdinando Septy Yokit, menyoroti perihal kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kultur maupun logika orang Papua. Menurutnya, perhatian terhadap isu HAM yang terjadi di Papua jauh lebih penting ketimbang sekedar soal pembangunan jalan dan perbaikan ekonomi. Sesi diskusi ini kemudian berakhir dengan harapan, ingatan kolektif tentang Papua kelak dapat bermanfaat bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan, serta menjadi daya subversif bagi masyarakat dalam menghasilkan perubahan demi menentukan nasib mereka sendiri.
Diskusi buku ditutup dengan penyerahan souvenir oleh St. Sunardi selaku penanggungjawab PUSdEP dan Devi Ardhiani selaku Kepala Program Studi Magister Kajian Budaya kepada para pemateri.
Penulis: Eirens