Pemutaran dan Diskusi Film Ahu Parmalim (Aku Parmalim)

Pada tanggal 20 April 2014, bertempat di ruang Palma Gedung Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, telah diadakan pemutaran dan diskusi film Ahu Parmalim. Film yang disutradarai oleh Cicilia Maharani itu merupakan hasil kerjasama antara Yayasan Kampung Halaman dan Tifa Foundation. Film tersebut berangkat dari cerita mengenai kehidupan seorang remaja, yang bernama Carles Butar-butar. Carles adalah  seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang juga seorang Parmalim. Carles melakukan kesehariannya dengan biasa saja; ia membantu keluarganya di sawah, berprestasi di sekolah, aktif dalam kegiatan baris-berbaris, dan juga aktif dalam kegiatan peribadatan di wilayahnya.

Film dokumenter Ahu Parmalim menangkap kehidupan Carles yang berjalan lurus-lurus saja, sebagai penganut ugamo Malim. Ia tidak kesulitan menjalankan kewajiban sebagai Parmalim, tidak seperti siswa penganut Ugamo Malim di sekolah lainya, yang harus ikut belajar belajar agama Kristen. Carles dapat mengikuti ujian sesuai dengan kepercayaannya, karena kebijakan sekolah telah memberi ruang kepada para penganut Ugamo Malim. Bisa dikatakan bahwa Carles mendapatkan kemudahan, apalagi saat siswa penganut Ugamo Malim di daerah lain tidak memperoleh mata pelajaran yang sesuai dengan kepercayaannya.

Angin segar bagi para penganut kepercayaan datang pada November tahun lalu. Ketika perjuangan panjang para penganut kepercayaan, berakhir manis. Dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi tentang pengosongan kolom agama pada KTP dan Kartu Keluarga. Namun masalah belum selesai. Pada kenyataannya Kementrian Agama masih membedakan antara agama dan kepercayaan. Pun, kementrian pendidikan dan kebudayaan yang selama ini mengurus penganut kepercayaan masih menempatkan kepercayaan berbeda dari agama. Sepertinya dengan posisi seperti itu, perjalanan para penganut kepercayaan masihlah panjang.

Acara nonton bareng dan diskusi film Ahu Parmalim tersebut merupakan salah satu bentuk fokus PUSdEP dalam program barunya, yaitu rekonsiliasi konflik dan perdamaian. Seperti yang disampaikan oleh program manager PUSdEP dan moderator acara, Vini Oktaviani Hendayani, keberagaman dan perbedaan sering kali menjadi pemicu terjadinya konflik. Acara nonton bareng ini berusaha memperlihatkan mengenai apa yang disebut sebagai perbedaan. Namun dalam film ini, perbedaan disajikan sebagai sesuatu yang wajar dan positif. Ugamo Malim menjadi salah satu kepercayaan dari tanah Batak, yang hidup seperti agama dan kepercayaan lainnya. Acara tersebut turut mendapuk Cicilia Maharani, sebagai sutradara film dan perwakilan dari Yayasan Kampung Halaman serta Rama Ando Harapan Gurning Pr, mahasiswa Ilmu Religi dan Budaya, sebagai pembahas.

Menurut Cicil,  komunitas Kampung Halaman berusaha menangkap keseharian seorang remaja penganut agama kepercayaan. Pengalaman berkepercayaan, bukan hanya milik para pemuka kepercayaan atau orang dewasa saja, namun juga milik remaja. Pengalaman yang sesuai dengan cara pandang mereka. Jika yang kita tahu, sulit bagi kepercayaan atau agama lokal untuk bisa diakui oleh negara, tentu masalah tersebut berimbas kepada semua penganutnya. Salah satunya adalah para remaja.  Sedangkan Rama Ando menjelaskan dari sisi sejarah Ugamo Malim. Menurutnya, sejarah Parmalim di tanah Batak sangatlah kompleks. Parmalim adalah agama orang Batak terakhir sebagai tanggapan dari adanya misi pemberadaban dan kolonialisme. Hal ini merupakan awal permasalahan yang dihadapi dalam perjalanan para Parmalim. Ia menjelaskan lagi bahwa tidak semua daerah di Sumatera Utara memiliki pelajaran agama Parmalim.

Pada sesi tanya-jawab, salah satu peserta bertanya mengenai sejak kapan Ugamo Malim sebagai institusi (keagamaan/ kepercayaan)? Rama Ando menjelaskan bahwa pada tahun 1932, Ugamo Malim sudah membangun sekolah negeri pertama di tanah Batak. Bahkan Parmalim sudah membuat kurikulum agama Parmalim dan juga buku pelajarannya. Cicilia menambahkan bahkan Ugamo Malim mencetak suatu buku tentang ilmu-ilmu umum dengan aksara Batak pada tahun 1930-an. Kenyataan bahwa Ugamo Malim dan  beberapa kepercayaan lain sudah mencoba untuk masuk menjadi bagian dari agama yang diakui di negara ini. Namun, sekali lagi, perjalanan para penganut kepercayaan masih panjang. Semoga, dengan melihat sejarah panjang agama-agama yang hadir di tanah air, dapat mendorong negara untuk mampu membuat kebijakan yang adil untuk para penganut kepercayaan. (Nita)

Bagikan ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *