
PUSdEP–Yogyakarta, 9 Mei 2025. Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) bekerja sama dengan Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma menggelar pemutaran dan diskusi mendalam tentang film “Turang” di Ruang Palma, Prodi Magister Kajian Budaya, Gedung Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Acara ini menghadirkan pembicara utama Bunga Siagian selaku Aktivis budaya, kurator, seniman dan ST Sunardi Dosen Magister dan Doktoral Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, dengan Ivonne Kani Mahasiswa Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma sebagai moderator. Diskusi ini tidak hanya membahas estetika dan naratif film, tetapi juga menggali konteks sejarah, ideologi, dan relevansi kontemporer dari karya yang sempat hilang dan ditemukan kembali ini.
Latar Belakang dan Penemuan Kembali Film “Turang”
Film “Turang”, yang meraih penghargaan film terbaik dan sutradara terbaik di Festival Film Indonesia tahun 1960, sempat hilang selama beberapa dekade. Penemuan kembali film ini menjadi sorotan dalam diskusi, terutama dalam konteks geopolitik modern. Bunga Siagian, salah satu pembicara, menjelaskan bahwa munculnya kekuatan baru Global South dalam 10 tahun terakhir telah membawa optimisme baru dalam kajian film dunia ketiga, termasuk Asia, Afrika, dan Amerika Latin. “Film ini menjadi penanda penting dalam sinema Asia-Afrika pada periode 1958-1964, yang sebelumnya kurang diperhatikan,” ujar Bunga yang menghadiri diskusi secara hibrit. Penemuan kembali “Turang” terjadi melalui pendekatan transnasional dan dorongan untuk mempelajari ulang sejarah film serta aktivisme budaya, yang kini semakin relevan di tengah perkembangan kajian budaya global.
Konteks Sejarah dan Ideologi
Diskusi juga menyoroti hubungan “Turang” dengan film-film kiri atau Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang sering dihilangkan karena prejudice ideologi pada masa lalu, khususnya pasca-Orde Lama. ST Sunardi, pembicara lainnya, mempertanyakan alasan di balik penghilangan film ini. “Kenapa harus dihilangkan? Mungkin karena dianggap dari kiri dan Lekra, padahal tidak ada apa-apanya, tidak mengerikan,” katanya. Ia mengusulkan untuk meneliti ulang karya-karya serupa tanpa prasangka, sambil membandingkan “Turang” dengan film sezamannya seperti “Darah dan Doa” dan “Lewat Jam Malam”. Menurutnya, “Turang” menyajikan narasi yang lebih humanis dan tidak patriotik, yang membedakannya dari film-film lain pada masanya.

Analisis Estetika dan Naratif Film
Salah satu aspek yang paling menarik dalam diskusi adalah analisis estetika dan naratif film “Turang”. Kata “Turang” menjadi elemen kunci yang muncul dalam berbagai adegan emosional, seperti kematian kawannya Rusli yang diratapi oleh warga desa. Momen emosional itu kembali hadir dalam adegan petani yang sedang diladang dan prajurit yang berkumpul bersama warga desa.
ST Sunardi menyebutnya sebagai floating signifier yang mencerminkan emosi mendalam dan pengalaman budaya. “Turang tidak hanya muncul karena maknanya, tapi timbre yang muncul dari tubuh yang bergetar karena anggota keluarganya meninggal,” jelasnya. Musik dan lagu dalam film ini juga memainkan peran besar, mirip dengan chorus dalam opera Barat atau suluk dalam wayang, yang merangkum emosi secara gradual.
Film ini juga menggambarkan karakter yang humanis, seperti pergulatan cinta antara Rusli dan Tipi, serta menonjolkan masyarakat lokal sebagai pusat narasi. Berbeda dengan film nasional lain yang sering berfokus pada elite politik, “Turang” menempatkan narasi masyarakat di sentral penciptaan. Penggunaan landscape, seperti alam dan kebun jagung, tidak hanya sebagai latar, tetapi juga sebagai elemen naratif yang berbicara, mencerminkan kearifan lokal dan perjuangan yang mengakar. “Sutradara film ini percaya sekali bahwa landscape bisa bicara,” tambah ST Sunardi.
Relevansi Kontemporer
Peserta diskusi turut memberikan pandangan tentang relevansi “Turang” dalam konteks kekinian. Astrid, salah satu peserta, menyoroti semangat anti-kolonial dan perlawanan terhadap penindasan yang tergambar jelas dalam film ini. “Semangat itu sangat relevan dengan situasi saat ini, misalnya kekuatan militer yang menggusur tanah, menggemakan kekhawatiran masa lalu tentang kolonialisme,” ujarnya. Ia juga menyinggung bagaimana film ini mengingatkan kita pada sejarah yang sering dilupakan, seperti penjajahan di Papua.
Sementara itu, Dhuha berpendapat bahwa film ini mungkin dihilangkan karena menggambarkan tentara secara terlalu humanis dan tidak heroik, yang bertentangan dengan citra militer yang diinginkan negara pada masa itu. “Visualnya sangat lembut. Tidak ada batas yang jelas siapa yang baik dan jahat, dan keambiguan ini berbahaya untuk negara saat itu,” katanya. Dika menambahkan bahwa “Turang” menawarkan gambaran perlawanan dari masa lalu yang bisa menginspirasi generasi muda, seperti Gen Z dan Gen Alpha, di tengah krisis utopia dan dominasi narasi resmi saat ini.
Secara keseluruhan, diskusi ini menegaskan pentingnya “Turang” sebagai karya yang kaya akan nilai estetika, sejarah, dan budaya. Film ini tidak hanya mencerminkan perjuangan nasional yang berakar pada masyarakat lokal, tetapi juga mengajak audiens untuk merefleksikan identitas, perlawanan, dan sejarah film Indonesia yang sering terlupakan. Para pembicara dan peserta sepakat bahwa mempelajari kembali film seperti “Turang” dapat membuka wawasan tentang masa lalu sekaligus memberikan inspirasi untuk menghadapi tantangan sosial-politik kontemporer.
Dalam kata penutup, Bunga Siagian menekankan pentingnya kesadaran akan lingkungan dan warisan budaya lokal yang tergambar dalam film ini. “Ini bicara perjuangan nasional tapi mengakar pada masyarakat yang cukup kompleks,” katanya. Sementara itu, ST Sunardi mengajak untuk meneliti paradigma estetik film ini lebih dalam, tanpa terjebak pada label ideologis. “Kita semua punya tanggung jawab meneliti paradigma estetik film yang kita tonton,” pungkasnya.
Diskusi ditutup dengan sesi foto bersama, menandai akhir dari acara yang sarat makna ini. Melalui diskusi ini, “Turang” tidak hanya dihidupkan kembali sebagai sebuah karya seni, tetapi juga sebagai cermin yang merefleksikan sejarah dan tantangan masa kini.
Penulis: Aris